Analisis Perkembangan Sukuk Di Indonesia

Sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar sebagai pusat pengembangan keuangan syariah dunia, termasuk pasar modal syariah. Masalah asymmetric information yang dihadapi oleh industri perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya karena instrumen bunga yang dapat menimbulkan cost yang lebih tinggi juga seharusnya menambah minat masyarakat Indonesia untuk beralih ke industri keuangan syariah.

Konsep keuangan berbasis syariah Islam dewasa ini, telah diterima secara luas di dunia dan telah menjadi alternatif baik bagi pasar yang menghendaki kepatuhan syariah (syariah compliance). Diawali dengan perkembangan yang pesat dinegara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara, produk keuangan dan investasi berbasis syariah Islam saat ini telah diaplikasikan dipasar-pasar keuangan Eropa, Asia, bahkan sampai Amerika Serikat. Selain itu juga, lembaga-lembaga yang menjadi infrastruktur pendukung keuangan Islam global juga telah didirikan, seperti Accounting and Auditing Organization For Islamic Institution (AAOIFI), International Financial Service Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Islamic Research and Training Institude (IRTI).

Salah satu sektor industri keuangan syariah yang sudah berkembang yaitu pasar modal syariah. Di Indonesia, sejarah industri ini dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Tak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2000 diterbitkan pula Jakarta Islamic Index (JII). Pasar modal syariah ini mempunyai tiga macam produk yang diterbitkan, yaitu reksadana syariah, saham syariah yang lebih dikenal dengan Jakarta Islamic Index (JII), dan obligasi syariah (sukuk).

Pada saat ini dalam pasar keuangan syariah, beberapa negara telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darusalam, Qatar, Pakistan, dan State of Saxony Anhalt Jerman. Penerbitan sukuk negara tersebut biasanya ditunjukkan untuk keperluan pembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, seperti pembangunan bangunan, unit pembangkit listrik, pelabuhan, Bandar udara, rumah sakit, jalan tol, dan lain sebagainya. Selain itu pula sukuk dapat juga digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismatch, yaitu dengan menggunakan sukuk dalam waktu jangka pendek yang juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.

Menurut Dede A (2011 : 281-282) mengemukakan bahwa “Konsep keuangan berbasis syariah saat ini sedang tumbuh secara cepat. Asetnya saat ini diperkirakan menyentuh angka antara 1,3 triliun dolar AS, sebagaimana dilansari oleh lembaga pemeringkat “Standar and poor’s rating service”. Bahkan ditahun-tahun mendatang diperkirakan akan tumbuh mencapai 2 triliun dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa market share dari lembaga keuangan syariah saat ini mencapai 3% dan akan tumbuh lebih besar lagi dimasa mendatang.

Sukuk di Indonesia pertama kali diterbitkan oleh PT Indosat yaitu pada bulan September tahun 2002, dan kemudian langka Indosat tersebut diikuti oleh beberapa perusahaan lainnya. Sukuk itu sendiri mulai disahkan dalam UU SBSN (Surat Berhaga Syariah Negara) yaitu pada tahun 2008, dan setelah disahkannya UU SBSN tersebut, pemerintah ikut serta menerbitkan sukuk yaitu sebesar Rp15 triliun, dengan menggunakan jaminan berupa aset milik negara seperti tanah dan bangunan. Penerbitan sukuk yang dilakukan pemerintah tersebut dibagi menjadi dua, separuh didalam negeri dan separuh di pasar internasional.

Didalam perkembangannya juga saat ini, baru dua jenis obligasi syariah (sukuk) yang berkembang di Indonesia, yaitu sukuk mudharabah dan ijarah.  Menurut Abdul Fatah (2011: 291) di tahun 2004 AAOIFI mencatat bahwa sukuk ijarah yang berdasarkan pada prinsip leasing transaction (transaksi sewa) adalah bentuk yang paling umum dan banyak digunakan oleh negara-negara Islam maupun non-Islam, khususnya bagi pemerintah di Indonesia pada saat ini. Selain daripada itu juga terdapat sukuk yang berdasarkan prinsip mudharabah yang mana pada tahun 2002-2004 lebih didominasi oleh sukuk ini, dibandingkan dengan sukuk yang berdasarkan prinsip ijarah.

Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2002 perkembangan jumlah nilai emisi sukuk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perkembangan pasar modal syariah salah satunya ditandai dengan maraknya penawaran umum sukuk dengan akad ijarah, dan pada saaat itu nilai emisi sukuk tumbuh sebesar 92% sebesar Rp 1.424 trilyun. Hal ini sejalan dengan diterbitkannya fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang obligasi syariah ijarah. Dapat dilihat pula kenaikan terjadi di tahun 2007 hingga 2008 yang cukup signifikan sebesar 39% dan 73% dimana aspek pendorongnya adalah telah terbitnya paket peraturan No.IX.A.14 tahun 2006 tentang penerbitan efek syariah dan akad yang digunakan di dalamnya.

Kenaikan juga terjadi pada tahun 2009 dengan nilai emisi Rp 5.6 trilyun, peningkatan ini antara lain disebabkan oleh penurunan suku bunga bank, sehingga obligasi menjadi sumber pendanaan yang relatif lebih murah. Selain itu, terbitnya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tahun 2008 telah dapat dijadikan acuan bagi sukuk korporasi. Meski secara pertumbuhan mengalami penurunan, nilai total emisi sukuk pada tahun 2010 tetap  mengalami kenaikan yaitu mencapai Rp7.715 trilyun dibandingkan emisi di akhir 2009 sebesar Rp7.015 trilyun.

Dari data perkembangan sukuk diatas, dapat dilihat bahwa meski dalam jumlah penerbitan maupun nilai emisi mengalami selalu mengalami kenaikan, namun pertumbuhan sukuk korporasi sangatlah lambat Jika dibandingkan obligasi, walaupun pertumbuhannya obligasi juga terbilang lambat, namun secara perbandingan nilai emisi, emisi sukuk korporasi sangatlah kecil.

Adapun melihat sukuk negara sebagai instrumen syariah pula, menunjukan pertumbuhan yang lebih cepat dimana tahun terakhir mencapai 46%. Hal itu mengindikasikan adanya masalah tertentu yang menghambat pertumbuhan sukuk, di Indonesia khususnya. Hal ini sejalan sebagaimana yang diuraikan oleh Rahmany (2010), yang menyatakan bahwa meski penerbitan sukuk sepanjang 2010 menunjukkan peningkatan, penerbitan obligasi yang berbasis syariah di Indonesia masih rendah. Berdasarkan uraian diatas, mengingat pasar sukuk memiliki potensi yang sangat besar, namun masih dihadapkan pada pertumbuhan yang relatif lambat, maka penulis bermaksud menganalisis permasalahan yang muncul dalam upaya perkembangan sukuk, khususnya di Indonesia secara komprehensif dan sistematis.

Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka penulis dalam hal ini tertarik untuk meninjau secara lebih lanjut mengenai potensi dan perkembangan dari sukuk (SBSN) di Indonesia, khususnya dalam dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam kurun waktu 2010-2015 dan juga tantangan perkembangan sukuk di Indonesia.

 Perkembangan Sukuk di Dunia

Laporan Standar & Poor’s Rating Services (2008) menunjukkan bahwa aset industri keuangan syariah secara global diperkirakan telah mencapai $500 miliar, dengan rata-rata pertumbuhan 10% pertahun dalam satu dekade terakhir. Saat  ini, terdapat 300 institusi keuangan Islam yang tersebar di lebih dari 75 negara, terkonsentrasi di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara (Malaysia dan Brunei), dan mulai merambah pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Sejalan dengan fakta tersebut, sukuk sebagai salah satu instrumen keuangan Islam turut memberikan kontribusi cukup signifikan. Sampai Oktober 2007, dari segi nominal tercatat penerbitan sukuk di dunia telah mencapai $39 miliar. Sedangkan dalam enam tahun terakhir, jumlah penerbitan sukuk di dunia mencapai 360 sukuk (Global Research-GCC, 2008).

Pasar sukuk dimulai ketika pemerintah Malaysia pada tahun 2002 menerbitkan sukuk senilai $600 juta, disusul dengan Bahrain yang menerbitkan sovereign sukuk dengan akad Ijarah dan Salam. Penerbitan sukuk terpusat di Negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Gulf Cooperation Countries (GCC) dan sebagian negara Asia. Selama periode 2001-2007, 62,1% dari total nilai emisi sukuk diterbitkan di negara-negara GCC dan sisanya sekitar 36 % diterbitkan di Asia, terutama Malaysia, Pakistan, dan Brunei.

Dalam periode yang sama, Uni Emirat Arab (UEA) tercatat sebagai negara dengan jumlah dana terbesar dengan kontribusi 36.2% dari total penerbitan sukuk di dunia, diikuti Malaysia dengan kontribusi 32.1%, walaupun data menunjukkan bahwa Malaysia merupakan negara dengan jumlah penerbitan terbanyak yaitu 137 kali, dibandingkan dengan UEA dengan jumlah penerbitan 29 kali. Hal ini terjadi karena pada tahun 2006-2007 UEA menerbitkan sukuk dengan nilai nominal sangat besar seperti Nakhael Sukuk ($3.52 miliar), PCFC Sukuk ($3.5 miliar),dan Aldar Properties Sukuk  ($2.5 miliar).

Pada awalnya, perkembangan sukuk di dunia disponsori oleh negara (sovereign sukuk). Namun pada perkembangan selanjutnya, sukuk korporasi lebih mendominasi pasar. Penerbitan oleh korporasi, berkembang sangat pesat dari $0.8 miliar pada tahun 2003 hingga $9.9 miliar pada tahun 2006. Sampai 2007, total emisi sukuk korporasi yang pernah diterbitkan senilai $ 22,4 miliar dan sukuk negara senilai $ 9 miliar.

Banyak penerbitan dalam skala besar oleh korporasi di dunia merupakan sukuk semi-pemerintah (quasi-sovereign). Dengan cara ini korporasi memperoleh benefit dalam hal jaminan negara. Korporasi-korporasi utama yang aktif dalam penerbitan sukuk antara lain Nakheel, PCFC, Aldar Properties, dan DP World dari Uni Emirat Arab, SABIC dari Arab Saudi, dan Nukleus dari Malaysia. Sekitar 30% dari total penerbitan sukuk di dunia merupakan kontribusi perusahaan-perusahaan tersebut.

 Perkembangan Sukuk di Malaysia

Malaysia adalah negara terdepan dalam pengembangan keuangan syariah. Malaysia telah menjadi pasar sukuk terbesar melihat fakta bahwa hampir 70% atau $ 62 miliar dari total emisi sukuk secara global hingga akhir 2007 diterbitkan di Malaysia. Sedangkan total penerbitan sukuk korporasi hingga 2007 telah mencapai RM 30 miliar (Financial Stability and Payment Systems Report, 2007). Malaysia tidak hanya memimpin pasar sukuk dilihat dari besaran volumenya, namun juga dalam hal variasi struktur sukuk yang inovatif dan kompetitif dalam rangka menarik investor yang lebih luas.

Dimulai dengan penerbitan RM 125 juta oleh Shell MDS Sdn. Bhd. Pada tahun 1990, pasar sukuk Malaysia semakin berkembang dalam segi volume dan pengalaman. Pasar sukuk Malaysia semakin mendalam dengan penerbitan terbaru sebesar RM 15.4 miliar ($ 4.7 miliar) oleh Binarian GSM Bhd, sebuah holding-company  yang memfasilitasi privatisasi operator seluler.

Dalam periode 2001-2007, dengan rata-rata perkembangan penerbitan sukuk pertahunnya sebesar 22% Malaysia telah menjadi salah satu pasar sukuk dengan perkembangan terpesat di dunia. Pada tahun 2001, Guthrie Sukuk diterbitkan sebagai sukuk korporasi Malaysia pertama yang diperdagangkan di bursa global (global sukuk), diikuti oleh penerbitan sukuk global oleh pemerintah Malaysia (Malaysia Global Inc) pada tahun 2002.

Pertumbuhan pasar sukuk lokal dan global Malaysia selama lima tahun terakhir menunjukkan data yang sangat impresif, yakni dengan pertumbuhan rata-rata 33% per tahun. Seperti laporan yang ditunjukkan oleh IFIS (Islamic Financial Institutions Statistic), 88% penerbitan sukuk pada tahun 2009 diterbitkan di Malaysia. Dari jumlah 774 penerbitan sukuk, 679 diantaranya berdomisili di negeri jiran ini.

 Tabel 1.1

Penerbitan Sukuk di Malaysia, 2000-2009

Tahun

Sovereign Sukuk

Corporate Sukuk

Quasi Sovereign Sukuk

Total

Persentase Pertumbuhan

2000

0

336

0

336

2001

250

530

33

813

142%

2002

800

1684

19

2503

208%

2003

1180

4637

0

5717

132%

2004

1479

5497

8

7211

20%

2005

706

10722

66

12065

65%

2006

1311

18050

7020

26798

130%

2007

6030

26778

13985

47126

79%

2008

1677

9536

5087

16299

-65%

2009

12728

12319

13660

48615

198%

 Faktor-faktor yang menjadi kunci pesatnya pertumbuhan sukuk di Malaysia dalam lima tahun terakhir antara lain:

  1. Pengembangan struktur yang inovatif

Fleksibilitas dalam struktur merupakan faktor kunci yang mendorong berkembangnya penerimaan pasar terhadap sukuk. Struktur sukuk disesuaikan dalam rangka membidik target pasar yang  spesifik. Dalam beberapa tahun terakhir, struktur sukuk di Malaysia telah berkembang dari struktur berbasis hutang dengan perjanjian jual beli (murabahah), menjadi berbasis sewa (ijarah), bagi hasil (musyarakah), kontrak kerja (istishna), dan struktur campuran (hybrid sukuk) melalui kombinasi akad-akad dalam syariah dalam rangka menggapai investor yang lebih luas.

  1. Perlakuan hukum yang jelas

Perlakuan hukum yang jelas dibuat dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi institusi keuangan Islam untuk berinvestasi pada instrumen sukuk. Hal ini dicapai melalui adopsi Capital Adequacy Standar yang dikeluarkan Islamic Financial Services Board (IFSB), terkait dengan prinsip prudent dalam investasi sukuk terutama dalam peraturan permodalan.

  1. Strategi yang fokus dalam pengembangan sistem keuangan Islam secara  komprehensif.

Dalam rangka menjadi pusat transaksi sukuk global (global hub), Malaysia menggunakan menfokuskan strategi pada penciptaan lingkungan yang kondusif bagi penerbitan sukuk yaitu: 1) Peraturan yang fasilitatif bagi penerbitan sukuk; 2) Penyediaan infrastruktur yang komprehensif; 3) Insentif dalam aktivitas investasi 4) Struktur yang inovatif dan penyediaan SDM; 4) Pricing yang kompetitif; 5) Framework syariah yang jelas.

 Perkembangan Sukuk di Indonesia

Sukuk pada hakikatnya adalah surat berharga yang menjadi instrument. Sukuk menurut sejarahnya pernah dikenal pada abad ke-7 zaman khalifah umayyah. Ketika itu disebut sukuk al-badai yaitu semacam kupon yang menandankan bahwa kita memiliki barang yang disimpan disuatu gudang. Menurut Imam Malik dalam bukunya al-Muwatta, sukuk al-badai ini bisa diperjual belikan sebelum jatuh tempo. Sukuk ini disebut seperti obligasi tetapi bukan mengandung bunga, melainkan didesain sedemikian rupa sehingga menjadi surat berharga yang sesuia dengan syariah.

Sukuk merupakan salah satu instrument investasi yang memberikan peluang bagi investor muslim dan non-muslim untuk berinvestasi di Indonesia. Sehingga sukuk dapat dimanfaatkan untuk membangun perekonomian bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar sangat respontif terhadap penerbitan sukuk. Hampir semua sukuk yang diterbitkan, diserap habis oleh pasar, bahkan pada beberapa kasus menimbulkan kelebihan permintaan.

Sukuk Indonesia, pertama kali diterbitkan oleh PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) pada bulan September tahun 2002 dengan nilai Rp175 miliar. Langkah Indosat tersebut diikuti perusahaan-perusahaan besar lainnya. Nilai penerbitan sukuk korporasi hingga akhir tahun 2008 telah mencapai Rp4,76 triliun. Sedangkan struktur sukuk yang digunakan pada periode 2002-2004 lebih didominasi oleh mudharabah yaitu sebesar Rp740 miliar (88%), sisanya adalah berdasarkan sukuk ijarah yaitu sebesar Rp100 miliar (12%) Adapun periode 2004-2007 didominasi oleh sukuk ijarah yaitu sebesar Rp2,194 triliun (92), sedangkan sisanya yaitu berdasarkan sukuk mudharabah yaitu sebesar Rp200 miliar (8%).

Enam sukuk yang sudah dipasarkan adalah sukuk ijarah, Aneka Gas Industri Indosat (Rp160 miliar), sukuk ijarah Indosat III (Rp570 miliar), sukuk ijarah Metrodata Electronics (Rp90 miliar), sukuk ijarah Summarecon Agung (Rp200 miliar), sukuk ijarah Bank Muamalah (Rp134 miliar), sukuk ijarah Mayora Indah (Rp200 miliar). Saat ini pangsa pasar sukuk memang belum besar. Menurut catatan PT Danareksa Sekuritas, outstanding sukuk baru 3% dari total pasar sukuk di Indonesia, sebanyak 97% lainnya masih dikuasai obligasi konvensional. (Abdul Fatah, 2011 : 293).

Setelah disahkannya UU SBSN tahun 2008, dalam hal ini pemerintah telah menjual surat berharga negara berbasis syariah atau sukuk yaitu senilai Rp15 triliun. Ini disebabkan nilai aset yang menjadi jaminan pemerintah untuk semua transaksi sukuk mencapai Rp15 triliun. Selain itu minat pelaku pasar modal terhadap sukuk juga sangat tinggi. Dengan demikian, sukuk pertama pemerintah diterbitkan pada awal semester tahun 2008. Penerbitannya dibagi menjadi dua, yaitu separuh untuk dalam negeri dan separuhnya di diterbitkan pada pasar internasional. Hal ini disebabkan karena adanya pertimbangan pemerintah, yaitu jika menerbitkan sukuk dengan besaran jumlah sekitar Rp15 triliun dipasar domestik, pemerintah berasumsi sukuk ini belum tentu semuanya terserap.

Penerbitan sukuk yang dilakukan pemerintah tersebut pada tahun 2008, dilaksanakan yaitu sebagai bagian dari pembiayaan deficit anggaran dalam APBN tahun 2008.  Keberadaan sukuk pada dasarnya dapat memperkuat kondisi ekonomi Indonesia dan menahan buble ekonomi karena akan memperbanyak portofolio mata uang asing selain dolar. Sukuk merupakan instrument yang tepat untuk merangsang para investor Timur Tengah yaitu dengan memberikan alternative pembiayaan sesuai syari’at Islam.

Besarnya minat pasar terhadap sukuk (obligasi syariah) pada kondisi saat ini, menyebabkan beberapa negara ikut mengembangkan sukuk sebagai salam satu sumber penggerak perekonomian negara termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena instrument syariah ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan Surat Utang Negara yang berupa obligasi konvesional yang mengacu pada sistem berbasis bunga. Kelebihan surat berharga syariah negara (sukuk) tersebut antara lain :

  • Pertama, sukuk menjamin aliran dana yang diterima akan masuk kepada proyek-proyek investasi sektor riil, karena akad-akad dalam keuangan syariah semuanya berbasis pada sektor riil. Berbeda dengan SUN, yang tidak ada jaminan bahwa uang yang masuk akan diinvestasikan untuk sektor riil.
  • Kedua, sukuk dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dibandingkan dengan SUN, karena sukuk memberikan peluang besar terhadap pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dan hal ini bisa memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran yang terjadi saat ini.
  • Ketiga, beban utang SUN jauh lebih berat dibandingkan dengan beban return sukuk. Dimana dengan menerbitkan SUN pemerintah berkewajiban untuk membayar sejumlah bunga kepada investor yang bersifat variabel tidak konstan. Sementara dalam sukuk, return bagi investor sangat bergantung pada jenis akad yang digunakan, dan return yang dibayarkan akan berlaku tetap karena adanya kejelasan dan tidak berubah meskipun terjadi shock dalam perekonomi suatu negara.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam menangani permasalahan defisit suatu negara, salah satu instrument yang sangat tepat digunakan adalah dengan menggunakan surat berharga syariah negara (sukuk), dibandingkan dengan menggunakan isntrumen obligasi negara yang berbasis bunga. Yang mana dalam aplikasinya selama ini, penggunaan instrumen obligasi negara tersebut, belum mampu untuk menangani atau mengurangi defisit anggaran suatu negara bahkan yang kerap terjadi justru sebaliknya yaitu menimbulkan utang yang cukup besar yang harus ditanggung oleh negara itu sendiri.

Menurut Sofyan (2008 : 218) mengemukakan bahwa “Total pasar instrument ekuitas dunia pada tahun 2007 telah mencapai sekitar US$ 39 triliun, sedangkan untuk potensi surat berharga syariah adalah sekitar 24% atau sebesar US$ 9,36 triliun. Sedangkan untuk pasar keuangan Islam ditaksir yaitu sebesar US$ 400 miliyar dan pasar uang Islam yaitu adalah sebesar US$ 3-50 miliar, hal ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sekitar 15%”.

Lebih lanjut diuraikan pula dalam laporan Statistik Pasar Modal Syariah yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2015 bahwa berdasarkan total nilai dan jumlah emisi sukuk dan sukuk outstanding menunjukkan angka yang signifikan dari tahun ke tahun dimana pada awal tahun 2010 total nilai dari emisi sukuk yakni mencapai 7.815,00 miliar kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi sebesar 14.483,00 miliar. Hal ini sejalan pula dengan nilai sukuk outstanding dimana pada tahun 2010 pencapaian sukuk outstanding adalah sebesar 6.121,00 miliar kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 8.444,40 miliar rupiah. Meskipun pula pada beberapa tahun di sukuk outstanding sempat mengalami penurunan, seperti di tahun 2011 dan di tahun 2014, akan tetapi pada tahun-tahun setelah kondisi sukuk outstanding tetap mengalami peningkatan. Berikut data perkembangan sukuk di Indonesia selama periode 2010-2015, sebagaimana yang terlihat pada tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2

Data Perkembangan Sukuk Di Indonesia

Tahun

Emisi Sukuk

Sukuk Outstanding

Total Nilai

Total Jumlah

Total Nilai

Total Jumlah

2010

7.815,00

47

6.121,00

32

2011

7.915,40

48

5.876,00

31

2012

9.790,40

54

6.883,00

32

2013

11.994,40

64

7.553,00

36

2014

12.956,40

71

7.105,00

35

2015

14.483,40

80

8.444,40

41

Sumber Data : OJK, 2016

Angka tersebut menunjukkan bahwa potensi sukuk pada saat ini, baik itu dalam pasar domestik maupun pasar internasional memiliki potensi yang cukup besar dan kinerjanya cukup baik. Adanya perkembangan tersebut menunjukkan bahwa instrument keuangan Islam telah menjadi salah satu instrument penting dalam keuangan, terlebih lagi instrument ini sangat dibutuhkan oleh pasar terutama untuk memenuhi likuiditasnya, serta menambah investasi serta mendistribusikan berbagai resiko keuangan.

 Dampak Sukuk Terhadap Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Menurut teori transmisi makroekonomi, penerbitan sukuk sebagai instrumen investasi bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi masalah makroekonomi, yaitu inflasi dan pengangguran. Sukuk juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori transmisi moneter, penerbitan sukuk dapat pula digunakan dalam pengendalian jumlah uang beredar melalui kebijakan kontraktif. Penerbitan sukuk di Indonesia juga tidak terlepas dari kondisi makroekonomi yang ada di negara ini.

Hal ini dibuktikan oleh penelitian kuantitatif menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) yang dilakukan oleh penulis, bahwa pada jangka panjang penerbitan sukuk di Indonesia dipengaruhi oleh indikator makroekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi dan jumlah uang beredar dengan hubungan yang positif, serta pengangguran terbuka dan inflasi dengan hubungan yang negatif. Selain itu penerbitan sukuk dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).

Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka penerbitan sukuk juga akan mengalami peningkatan karena kondisi makro ekonomi domestik dalam keadaan baik. Ketika tingkat pengangguran terbuka dan inflasi mengalami kenaikan maka penerbitan sukuk akan mengalami penurunan yang diakibatkan kondisi makroekonomi domestik dalam keadaan tidak baik. Hal ini dikarenakan pemerintah dan korporasi selaku emiten akan melihat dan menyesuaikan jumlah sukuk yang diterbitkan dengan kondisi pasar yang terjadi.

Ketika terjadi peningkatan pada jumlah uang beredar di masyarakat, pemerintah akan menerbitan sukuk sebagai salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam operasi pasar terbuka. Ketika terjadi penurunan bonus SBIS maka para emiten korporasi maupun pemerintah akan memanfaatkan hal ini untuk menerbitkan obligasi syariah. Hal ini dikarenakan dengan turunnya bonus SBIS maka dana yang dikeluarkan untuk membayar return obligasi syariah akan lebih rendah sehingga obligasi syariah yang diterbitkan menjadi bertambah.

Penerbitan sukuk juga memberikan dampak terhadap indikator makroekonomi Indonesia. Penerbitan sukuk berpengaruh hanya pada pertumbuhan ekonomi dan pengangguran terbuka. Hal ini dikarenakan sukuk merupakan instrument investasi yang diperuntukkan bagi pembangunan di sektor riil. Pemerintah dan korporasi selaku emiten menerbitkan sukuk dengan tujuan memperoleh dana dari masyarakat untuk melakukan perluasan usaha dan pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan baru yang dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Penerbitan sukuk tidak memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi karena sukuk merupakan surat berharga yang sampai saat ini belum dijadikan instumen pada operasi pasar tebuka oleh Bank Indonesia untuk menarik peredaran uang yang ada di masyarakat. Namun secara langsung juga penerbitan sukuk tetap berpotensi untuk memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi jika pemerintah menjadikan sukuk sebagai surat berharga yang dijadikan sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka, selain SBI, SBIS, dan surat berharga pasar uang (SBPU).

Ketika penerbitan sukuk mengalami guncangan yaitu pemerintah dan korporasi tidak lagi menerbitkan sukuk maka maka pengaruh yang berfluktuatif dirasakan seluruh variabel makroekonomi yang diamati. Semua indikator makroekonomi tersebut membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali stabil. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, ketika terjadi guncangan pada kondisi makroekonomi di Indonesia, penerbitan sukuk relatif lebih cepat stabil dan tahan terhadap goncangan.

 Tantangan Perkembangan Sukuk di Indonesia

Pesatnya perkembangan instrument keuangan syariah yaitu dengan diterbitkannya fatwa-fatwa yang berkaitan dalam pasar modal, telah memberikan dorongan untuk mengembangkan alternative sumber pembiayaan yang sekaligus menambah alternative instrument investasis yang halal. Akan tetapi pesatnya laju perkembangan yang terjadi itu, tidak luput dari adanya masalah serta tantangan dalam perkembangannya. Sehingga adanya kecenderungan pula, bahwa implementasi instrument syariah “sukuk” di Indonesia masih cukup jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.

Dede Abdul (2011 : 294) mengemukakan bahwa permasalahan serta tantangan yang kerap dihadapi sekarang ini adalah tidak adanya standirisasi fatwa mengenai struktur produk-produk instrument syariah dari masing-masing negara dan AAOFI standar belum digunakan sebagai acuan oleh semua negara yang pendukungnya mayoritas Muslim. Hal ini berdampak terhadap keengganan satu negara untuk berinvestasi melalui sukuk negara lain, seperti keengganan beberapa negara di Timur Tengah untuk melakukan investasi melalui sukuk di Indonesia contohnya, yang mana pada saat lalu dibeberapa perbankan masih menggunakan akad bai al-inah. Sehingga investor-investor asing khususnya dari kawasan Timur Tengah enggan untuk berinvestasi dalam bentuk sukuk di Indonesia.

Lebih lanjut pula dikemukakan oleh Dede Abdul (2011 : 295) yaitu masalah yang lain adalah manajemen risiko atau pengelolaan risiko, seperti adanya risiko operasional dan risiko ketidakpatuhan pada prinsip syariah atau shariah compliance risk. Begitu juga perbedaan pada proses tehnik dan konsep penyaringan instrument investasi syariah yang berbeda disetiap negara, sehingga menyulitkan untuk menyatukan visi dan misi terhadap suatu produk dalam investasi syariah.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Endri (2009 : 371) mengemukakan dalam penelitian yaitu mengenai permasalahan pengembangan sukuk korporasi di Indonesia dengan menggunakan metode analytical network process (ANP), menyatakan bahwa masalah dalam pengembangan sukuk korporasi di Indonesia lebih didominasi aspek pelaku pasar dan regulasi. Minimnya pemahaman pelaku pasar modal dan keterbatasan SDM membuat pasar sukuk lambat bergerak disamping ketidakpastian pajak membuat perusahaan ragu untuk menerbitkan sukuk. Sedangkan permasalahan umum yang tidak hanya dialami di Indonesia, tetapi juga diseluruh dunia adalah aspek kompleksitas produk. Sukuk adalah instrument baru keuangan keuangan syariah yang mempunyai cirri khas dan kharakteristik yang berbeda dibandingkan dengan produk lain.

Selain dari beberapa tantangan dan masalah tersebut yang dikemukakan oleh Dede dan Endri, pada dasarnya terdapat beberapa lagi tantangan serta masalah dalam instrument keuangan syariah “sukuk” yaitu antara lain :

  1. Belum banyak masyarakat yang paham tentang keberadaan obligasi syariah, apalagi sistem yang digunakan.
  2. Pasar keuangan syariah di Indonesia tidak terlalu likuid. Penyebabnya, pangsa pasarnya relative kecil, yaitu bahkan cenderung kurang dari 5% dari seluruh sistem keuangan di Indonesia.
  3. Masyarakat dalam menyimpan dananya cenderung didasarkan atas pertimbangan pragmatis. Hal ini menjadikan tren tingkat bunga yang cenderung bisa dipastikan di masa yang akan datang, menjadikan investor lebih memilih obligasi konvensional daripada obligasi syariah (sukuk).
  4. Conventional dominant; pada kondisi financial dual system Instrumen keuangan termasuk sukuk dihadapkan pada persaingan dengan obligasi sehingga timbul tantangan tersendiri untuk dapat lebih meningkatkan trend sukuk. Selain itu, juga mengingat pasar obligasi khususnya memang lebih banyak diserap oleh pasar konvensional.
  5. Keterbatasan instrumen; saat ini sukuk masih memiliki keterbatasan dalam segi jenis akad maupun jangka waktu (tenor). Sukuk yang telah diaplikasikan baru terdiri dari sukuk dengan skim ijarah dan mudharabah.
  6. Nilai issuance atau emisi yang rendah, yang tidak sesuai dengan permintaan investor; pada kondisi pasar, sering terjadi ketidakseimbangan antara demand dan supply dimana jumlah supply yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan investor atau dapat dikatakan masih terbatas.
  7. Pasar sekunder yang kurang likuid; kecenderungan investor dengan hold to maturity dan jumlah seri yang diperdagangkan terbatas menyebabkan rendahnya nilai transaksi di pasar sekunder, sehingga  likuiditas pasar menurun dan akibatnya investor akan cenderung meminta imbal hasil yang lebih tinggi dari obligasi.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, pada dasarnya terlihat kurang memiliki dampak secara langsung terhadap tingkat perkembangan sukuk Indonesia. Akan tetapi jika dilihat secara lebih perspektifnya justru permasalahan-permasalahan mengenai kurangnya informasi masyarakat mengenai instrument keuangan syariah inilah yang merupakan faktor utama dalam perkembangan instrument keuangan syariah di Indonesia. Sebaliknya di Malaysia justru keadaan ini bukanlah menjadi masalah, disebabkan dalam sistem pemerintahannya pula Malaysia sudah menerapkan sistem pemerintahan yang berbaur syariah Islam. Selain itu pula perlunya adanya kesadaran pemerintah terhadap permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala dalam perkembangan sukuk, khususnya di Indonesia. Karena secara prosepeknya, instrument keuangan syariah berupa sukuk ini kedepannya, memiliki ruang potensi yang cukup besar disebabkan sifatnya yang cukup jauh berbeda terhadap obligasi konvensional.

 Penutup

 Kerjasama antara akademisi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang paham akan produk dan hukum Islam dan kerjasama dengan Dewan Syariah Nasional dalam memperkaya produk berbasis syariah dengan pemerintah sangat penting bagi perkembangan pasar modal syariah di Indonesia umumnya dan perkembangan sukuk pada khususnya. Pada akhirnya pengembangan pasar modal syariah di Indonesia memang perlu proses.

Perkembangan sukuk akan sangat ditentukan oleh keberadaan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Karena instrumen ini sangat diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan perbankan sayriah di Indonesia. Sesuai dengan salah satu program kerja akselerasi perkembangan bank syariah, maka keberadaan sukuk ini akan sangat significant impactnya terhadap pertumbuhan investasi dan pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan Bank Syariah.

Tingkat peluang yang cukup besar atas perkembangan sukuk sebagai instrumen investasi syariah saat ini, tidak pernah luput dari beberapa kendala dan tantangan yang sedang dihadapi, khususnya pada Indonesia. Dimana tingkat perkembangannya masih cukup rendah dibandingkan perkembangan pada pasar instrumen syariah diberbagai negara lainnya. Seperti Malysia, serta beberapa negara Timur Tengah lainnya. Konteks rendahnya perkembangan instrumen keuangan investasi syariah, tidak luput pula, dari adanya kondisi dimana masih kurangnya informasi yang masyarakat terima mengenai produk serta sistem instrumen investasi syariah.

Sehingga dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban yaitu dalam prospek kedepannya mengenai perkembangan instrumen keuangan syariah yaitu pada dasarnya dengan mengoptimalkan pemberian informasi kepada masyarakat. Sehingga instrumen keuangan syariah itu sendiri mampu dan bisa berkembang sesuai dengan pangsa pasarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dede Abdul, Fatah, 2011. Perkembangan Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia : Analisis Peluang dan Tantangan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Vol. X, No. 2 Juli-Desember.

Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, 2011 Mengenal Sukuk Instrumen Investasi dan Pembiayaan Berbasis Syariah.www.dmo.or.id, [online], http://www.dmo.or.id, Hotml 3 Maret.

Endri, 2009. Permasalahan Pengembangan Sukuk Korporasi di Indonesia Menggunakan Metode Analytical Network Process (ANP). ABFI Institute Perbanas Jakarta, Jurnal Keuangan dan Perbankan. Vol. 13, No 3 September.

Sofyan, Syafri, 2008. Sukuk Sebagai Instrumen Pendanaan Negara. Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti Jakarta. Vol. II, No.2, Desember.

Sunarsih, 2008. Manfaat dan Kelebihan Surat Utang Negara Syariah (Sukuk) Atas Surat Utang Negara Yang Berupa Obligasi Konvesional Berbasis Bunga. Fakultas Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga, Vol.2, No.2 Juni.

Tinggalkan komentar